Kamis, 28 Februari 2013

SAPARDI DJOKO DAMONO

Biografi Sapardi Djoko Damono

Prof Dr Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940, Beliau mengaku tak pernah berencana menjadi penyair, karena dia berkenalan dengan puisi secara tidak disengaja. Sejak masih belia putra Sadyoko dan Sapariyah itu, sering membenamkan diri dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, ia pernah menulis sebanyak delapan belas sajak hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra, sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kemudian, ketika duduk di SMA, ia memilih jurusan sastra dan kemudian melanjutkan pendidikan di UGM, fakultas sastra.

Salah satu sumbangan terbesar Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Selain melahirkan puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.

SALAH SATU PUISI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO :

CERMIN
cermin tak pernah berteriak;
 ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
(Sapardi Djoko Damono 1980)

ANALISIS PUISI "CERMIN"
Secara denotatif-leksikal, cermin adalah kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb. Sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda-benda yang ditaruh di depannya, biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek dsb.
Sedangkan secara konotatif-imajinatif, cermin kaya akan makna. Terlebih ketika benda mati itudihidupkandalam tubuh puisi melalui majas personifikasi seakan-akan cermin itu adalah manusia. Itulah yang dilakukan penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya ini.
// cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah / meraung, tersedan, atau terisak, / meski apa pun jadi terbalik di dalamnya / 
Dengan negasitidak pernah”, larik-larik itu hendak menyatakan sesuatu yang tidak tekstual. Bahwa yang dilakukan cermin hanyalah memperlihatkan, bukan menyuarakan. Cermin hanya menyodorkan bayangan benda-benda yang terdapat di depannya. Ia tidak berkomentar apa pun tentangnya. Ia hanya menunjukkan sesuatu, tanpa mengatakan apa pun tentang sesuatu itu.
Meski tidak bisa berkata apa pun, cermin selalu memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu seperti aslinya, apa adanya,” kata pemateri. Apa yang ada di dalam cermin, sama dengan apa yang ada di luarnya. Itulah kejujuran.

Kejujuran tidak lahir dengan sendirinya. Keutamaan moral ini membutuhkan proses melalui pendidikan dalam pengertian yang luas. Dalam proses panjang itu, yang ditekankan bukan hanya perihal belajar untuk mampu berkata-kata, tetapi juga belajar untuk bisa mengendalikan kata-kata. Belajar untukbicara yang penting”, bukan “yang penting bicara”.
Lebih daripada itu, belajar untuk diam. Berhening. Berefleksi. Bermeditasi. Berkontemplasi. Inilah pesan lain dari cermin. Dalam konteks inilah larik keempat dan kelima bisa dipahami. Bahwa, cermin tidak pernah bersuara. Kalaupun bersuara, / barangkali ia hanya bisa bertanya: / mengapa kau seperti kehabisan suara?//.
Jawabannya: karena kau terlalu banyak bersuara! Kurang berhening. Kurang melihat ke dalam diri. Padahal di dalam diri itu ada cermin: hati.
Di sini, cermin berarti nurani. Nurani harus bening, lewat hening, agar bisa memperlihatkan sesuatu apa adanya. Itulah kejujuran.

< Semoga Bermanfaat >







Tidak ada komentar:

Posting Komentar